Ini cerita beberapa bulan yang lalu, ketika sedang rame-ramenya kampanye Pemilu. Tutut sedang giat berkampanye di sebuah kota kecil di Irian Jaya. Ribuan rakyat dikumpulkan oleh Pemda buat menyambut beliau di lapangan kota W. Bendeta dan umbul-umbul dipasang. Meriah. Dan rupanya suatu kebiasaan di situ bahwa rakyat dengan gegap gempita menyambut setiap ucapan para pembesar.
Tutut berpidato: “Saudara-saudara, dalam rangka pembangunan nasional, pemerintah akan meningkatkan usaha untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur!”.
Rakyat setempat: “Wiloo-wiloo, wiloo-wiloo!”.
Tutut meneruskan: “Jangan sampai saudara-saudara mau dihasut oleh gerakan separatis yang ingin mengacaukan stabilitas!”.
Rakyat setempat: “Wiloo-wiloo!”.
Tutut lagi: “Hidup Soeharto! “.
Rakyat setempat: “Wiloo-wiloo!”.
Tutut: “Hidup Soehartono!”
Rakyat setempat: “Wiloo-wiloo!”.
Pidato selesai Tutut turun mimbar dan langsung diantar berkeliling melihat-lihat desa-desa di dekat sini, untuk memberi kesan baik, ia tidak hanya ingin mengunjungi hal-hal yang sudah ditata. Suatu kali ia nekad masuk ke sebuah rumah dan langsung ke halaman belakang untuk melihat bagaimana babi-babi dikandangkan di tempat itu. Ini membuat cemas Pak Bupati, orang asli, yang segera mencoba memberi tahu Tutut: “Maaf, Ibu, jangan masuk ke situ. Nanti kalau Ibu terinjak wiloo-wiloo! Wiloo-wiloo babi itu ada bau sekali, Ibu!”