Tampilkan postingan dengan label Mati Ketawa Ala Soeharto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mati Ketawa Ala Soeharto. Tampilkan semua postingan

Rabu, 31 Maret 2021

Sajak Orang Kepanasan

 

oleh WS Rendra (dibacakan pada 15 Mei 1998 didepan pimpinan DPR)


Karena kami makan akar

dan terigu menumpuk di gudangmu

Karena kami hidup berhimpitan

dan ruangmu berlebihan

maka kita bukan sekutu

Karena kami kucel

dan kamu gemerlapan

Karena kami sumpek

dan kamu mengunci pintu

maka kami mencurigaimu

Karena kami terlantar di jalan

dan kamu memiliki semua keteduhan ...

Karena kami kebanjiran

dan kamu berpesta di kapal pesiar ...

maka kami tidak menyukaimu

Karena kami dibungkam

dan kamu nerocos bicara ...

Karena kami diancam

dan kamu memaksakan kekuasaan ...

maka kami bilang TIDAK kepadamu

Karena kami tidak boleh memilih

dan kamu bebas berencana ...

Karena kami cuma bersandal

dan kamu bebas memakai senapan ...

Karena kami harus sopan

dan kamu punya senjata ...

maka TIDAK dan TIDAK kepadamu

Karena kami arus kali

dan kamu batu tanpa hati

maka air akan mengikis batu.


Uang Lebih Penting

 

    Seorang anggota ABRI berpangkat kopral berpakaian preman tengah berjalan sendirian di jalan yang gelap dan sepi oleh dua pria berpistol.


    “Saya tidak main-main,” kata salah satu pria sambil mengancam.


    “Serahkan uangmu, atau otakmu kubuat berhamburan.”


    “Silakan tembak dan buat otak saya berhamburan,” sambut si kopral.


    “Sebagai anggota ABRI saya tak memerlukan otak; saya lebih butuh uang untuk hidup.”


Menyerah

 

    Di Indonesia semua gerakan yang berbau melawan pemerintah pasti dituduh sebagai subversif. Suatu ketika, seorang pria setengah baya mendatangi kantor dinas sosial.


    “Apa kah di sini markas besar dari gerakan melawan kemiskinan?” tanyanya.


    “Ya,” sahut petugas jaga.


    “Saya datang untuk menyerah ...”



Salah Pilih

 

    Bersama sejumlah perwira asal Indonesia Syarwan dapat kesempatan berkunjung ke Amsterdam. Ditemani seorang perwira Belanda, Syarwan mengunjungı kawasan lampu merah yang paling terkenal seantero dunia itu.


    Rupanya Syarwan tergiur melihat kemolekan tubuh perempuan bule yang disebut sebagai “kuda putih” yang mejeng di kawasan itu. “Yah, kapan aku bisa ....merasakan dekapan mereka,” pikirnya.


    Di pinggiran jalan, di antara tumpukan sampah tiba-tiba Syarwan melilhat sebuah lentera tembaga. Dia merunduk dan memungutnya. Ternyata benda itu adalah sebuah lentera ajaib. Saat Syarwan menggosok keluarlah jin.


    “Syarwan, kau boleh mengajukan dua permintaan. Aku janji akan mengabulkannya,” ujar jin.


    “Pertama,” ucap Syarwan, “Aku ingin berkulit putih, bertubuh padat dan tak usah lagi jadi perhatian orang seperti di sini. Kedua, aku ingin selalu lıidup dalam dekapan badan yang paling rahasia dari seorang perempuan, yang tentunya hangat dan nyaman.”


    Hanya dalam sekejap, Syarwan pun berubah menjadi sebuah tampon.


Alangkah Bedanya

 

    Si Gendut yang suka mabok bergumam mengenai negerinya. “Alangkah harmonisnya hubungan Clinton dengan rakyatnya. Baru saja ia mengatakan bahwa Amerika sedang berada dalam keadaan ekonomi yang buruk, rakyat Amerika segera saja percaya. Sedangkan di negeri saya, saat Soeharto mengatakan kepada rakyat bahwa Indonesia setelah krisis moneter ini akan segera mengalami kemajuan, tak seorang rakyat pun yang percaya.”



SDM yang Paling Berharga

 

    Seorang ahli perbankan utusan IMF warga Amerika datang berkunjung ke Jakarta. Habibie yang menerimanya mengajak berkunjung ke sebuah bank milik pemerintah. Dengan bangga Habibie mengajak tamunya berkeliling meninjau keadaan kantor. Utusan IMF itu lantas tercengang-cengang melihat di sejumlah ruangan balok-balok emas bergeletakan begitu saja, tanpa penjagaan.


    “Hal seperti ini tak mungkin terjadi di Amerika. Pantas cadangan kekayaan negeri Anda tipis,” kata tamu dari Amerika kepada Habibie. “Di Amerika, emas merupakan cadangan negara yang disimpan dan dijaga ketat.”


    “Ya, itulah bedanya. Sebab Amerika adalah negara kapitalis”, sahut Habibie tak mau kalah. “Di negeri Pancasila seperti kami, kapital adalah sumberdaya manusia dan tenaga kerja. Jadi manusialah yang kami jaga ketat!



Syukurlah

 

    Seorang tua penduduk di pinggiran Los Palos, Timor Timur, bernama Manuel sedang sakit berat. Ia tengah berbaring di ranjang kayunya. Tiba-tiba terdengar ketukan keras pada pintu luar.


    “Siapa itu yang di luar?,” teriak Manuel dengan ketakutan.


    “Saya Malaikat Maut!”


    “Oh, syukurlah. Saya kira yang datang anggota ABRI.”